Pekerja Anak Dan Lingkungan Kerjanya

Minggu, 16 Agustus 2009
Bulan Juli (tepatnya tanggal 23) adalah hari anak nasional (HAN). Sebagai suatu hari yang diistimewakan, setiap tanggal 23 Juli selalu ada peringatan/perayaan, baik dilakukan oleh lembaga yang concern terhadap masalah anak atau pun dilakukan oleh lembaga-lembaga yang ingin menunjukkan dirinya kepada publik, bahwa mereka juga memperhatikan permasalahan anak. Kalau setiap tahun ada peringatan/perayaan HAN dengan maksud mengingatkan kepada publik bahwa masalah anak adalah masalah kita semua, masalah bangsa, adalah sangat positif.

Bagaimanapun, anak adalah generasi penerus yang akan mengambil peran dalam proses kelangsungan dan perkembangan bangsa. Di pundak anaklah “nasib” bangsa di masa datang akan dipertaruhkan. Dengan perkataan lain, kualitas anak-anak bangsa hari ini akan menentukan kemajuan bangsa di masa akan datang.

Anak-anak yang berkualitas seperti yang diharapkan oleh banyak orang, tidak akan timbul dengan sendirinya, walaupun pada diri anak ada potensi internal, akan tetapi memerlukan usaha yang sungguh-sungguh dari orang tua dan keluarga sebagai orang terdekatnya. Ini berarti orang tua dan keluarga adalah tempat pertama pembentukan anak berkualitas.

Namun kenyataannya, tidak semua anak-anak yang dilahirkan dapat melalui masa kanak-kanaknya dengan “baik” seperti yang diharapkan dalam keluarga, yang penuh cinta kasih dan berkesempatan mendapatkan pendidikan (dalam arti luas) sebagai bekal masa depannya. Tidak sedikit di antara mereka yang tidak bisa bermain dengan teman sebayanya karena harus bekerja membantu menutupi kebutuhan keluarganya, bahkan di antara mereka ada yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah atau tidak pernah mengenyam bangku sekolah sama sekali. Mereka itu sehari-harinya disebut pekerja anak, buruh anak, pemulung, pedagang asongan, pekerja seks anak, anak jalanan dan sebutan-sebutan lainnya sesuai dengan kenyataan dan profesi mereka.

Dalam tulisan ini, penulis lebih suka menggunakan istilah pekerja anak dan buruh anak. Karena kenyataanya anak-anak yang mempunyai profesi seperti di atas, baik hidup (berkeliaran) di jalanan ataupun tidak (di berbagai perusahan), mereka bekerja mencari nafkah. Nafkah yang dicari oleh si pekerja atau buruh anak dimaksudkan untuk membantu meringankan beban keluarga atau untuk modal bertahan hidup si anak.
Di tanah air, masalah pekerja/buruh anak mulanya dikaitkan dengan tradisi membantu orang tua yang dianut oleh beberapa suku, seperti membantu orang tua di sawah, di kebun atau menjaga toko/warung. Meski orang tuanya mampu, karena tradisi anak tetap diminta untuk membantu orang tua. Tujuan dari tradisi ini adalah untuk mempersiapkan anak menghadapi dunia nyata ketika mereka dewasa. Dengan kata lain, tradisi ini adalah bentuk pendidikan dan pembentukan diri si anak. Hal ini sangat mungkin karena membantu orang tua bukan pekerjaan utama anak. Anak tetap bersekolah dan bermain dengan bebas dan hanya pada saat-saat tertentu mereka bekerja membantu orang tua.

Namun oleh perkembangan waktu diketahui bahwa tidak semua anak yang bekerja itu karena tradisi. Penyebab utama pekerja/buruh anak adalah desakan ekonomi. Penghasilan orang tua yang pas-pasan, bahkan kurang , memaksa anak “turun ke arena” untuk meringankan beban ekonomi keluarga atau tumpuan utama ekonomi keluarga. Bagi anak yang sudah tidak memiliki orang tua, bekerja di masa anak-anak bukan lagi sekedar membantu orang tua, tetapi sudah menjadi kegiatan to be or not to be.

Di kota-kota besar, pekerja/buruh anak--baik bekerja di sektor formal maupun informal—dipicu oleh gejala urbanisasi. Penelitian Irwanto (1995) menemukan bahwa pekerja anak di kota-kota besar merupakan akibat dari urbanisasi orang tua. Karena tidak mempunyai ketrampilan (43 persen tidak lulus SD), para orang tua (responden) bekerja sebagai buruh kasar dengan pendapatan rata-rata hanya Rp 4.000/hari (tahun 1995). Pendapatan sebesar itu tentu tidak mencukupi untuk bisa bertahan di kota besar, sehingga anak dituntut untuk bekerja menambah pendapatan keluarga.

Di desa, sama dengan di kota, fenomena pekerja/buruh anak juga muncul lantaran himpitan ekonomi. Sawah atau sumber ekonomi sangat terbatas, sehingga anak harus ikut bekerja menjadi buruh tani di sawah milik orang lain. Dari sini kelihatan bahwa kesulitan ekonomi merupakan pemicu utama munculnya pekerja anak. Faktor kultural atau tradisi tidak begitu besar pengaruhnya.

Sumbangan pekerja/buruh anak buat ekonomi keluarga memang tidak kecil. Diperkirakan pekerja/buruh anak rata-rata memberi sumbangan 20 persen bagi ekonomi keluarga. Angka ini muncul dalam sebuah laporan yang diungkap dalam konferensi PBB mengenai masalah pemukiman (habitat II) di Turki tahun 1996. Dengan jumlah sebesar itu wajar jika orang tua dengan ekonomi pas-pasan merelakan anaknya mencari tambahan penghasilan (Fokus No. 70 Thn 3 Vol. 02 Juli 1996).
Pekerja anak/buruh adalah fenomena internasional, terutama negara-negara berkembang. Menurut International Labour Organization (ILO) jumlah pekerja anak (child labour) di dunia mencapai antara 100-200 juta jiwa. 7 persen dari jumlah tersebut tinggal di Amerika Latin, 18 persen di Asia dan 75 persen di Afrika.

Di Indonesia, terdapat 2,5 juta anak bekerja. Hanya perlu dicatat, kategori pekerja/buruh anak yang dipakai BPS adalah mereka yang berumur 10-14 tahun yang aktif melakukan aktivitas secara ekonomi (Sakernas, 1992; Nachrowi dan Muhidin, 1996). Sudah pasti jumlah pekerja/buruh anak akan lebih besar jika kategorisasi yang dipergunakan lebih luas, yaitu anak-anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk keperluan mencari upah. Menurut Irwanto, jika kategorisasi terakhir ini digunakan, jumlah pekerja anak di tanah air kira-kira akan mencapai 8 juta anak (Kompas, 23/7/1996). Angka-angka tersebut adalah survei dan perkiraan sebelum terjadinya krisis ekonomi. Ini berarti ketika krisis melululantahkan ekonomi Indonesia, jumlah pekerja/buruh anak dipastikan meningkat. Hasil pemantauan Yayasan Pabbata Ummi (YAPTA-U), selama krisis, jumlah pekerja anak di Kota Makassar bertambah dua kali lipat. Dengan beberapa parameter sederhana yang disebutkan di atas diperkirakan jumlah pekerja anak di Indonesia saat ini mencapai 16-18 juta anak.

Jumlah di atas meliputi anak yang bekerja disektor formal dan informal. Berapa proporsi mereka di dua sektor ini tidak begitu jelas. Namun sekedar gambaran, berdasarkan survei yang dilakukan oleh ILO di Kotamadya dan Kabupaten Bandung Jawa Barat, anak-anak umumnya bekerja di sektor informal. Di Kotamadya Bandung, 80 persen pekerja anak yang bekerja di sektor ini, sedangkan di Kabupaten Bandung jumlahnya mencapai 95 persen.

Kenyataan ini menyedihkan, bukan karena bentuk kegiatan atau kegiatan bekerja itu sendiri , namun karena dampak buruk yang diderita anak sebagai pekerja. Karena lingkungan kerja anak yang tidak kondusif, baik di jalanan, di pantai (jermal), di sawah, kebun, pabrik dan lain-lainnya, maka perkembangan (fisik dan mental) anak akan negatif. Para ilmuan sosial mencatat ada sejumlah kerugian yang dialami anak ketika menerjunkan diri ke dunia kerja. Sekedar contoh adalah kesempatan belajar anak menjadi berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Demikian pula kesempatan bermain dan bersosialisasi untuk memantangkan kepribadian menjadi terbengkalai.

Efek lebih lanjut adalah ketidaksiapan anak dalam menghadapi masa depan. Pendidikan yang rendah dan kepribadian yang belum matang akan membuat mereka tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dalam dunia kerja atau lingkungan sosial. Mereka akhirnya berfungsi sebagai pelestari siklus kemiskinan keluarganya. Dengan kata lain, tidak ada mobilitas vertikal yang dialami sang anak dalam perjalanan hidupnya.

Jumlah jam kerja dan jadwal kerja yang panjang dan padat merupakan kenyataan yang harus dihadapi pekerja anak. Menurut penelitian ILO di kotamadya Bandung, lebih dari setengah (60,2 %) pekerja anak harus bekerja sekitar 40 jam per minggu atau sekitar 7 - 10 jam per hari dengan waktu kerja antara jam 7-8 atau sampai jam 4-5 sore. Bahkan di Bekasi dan Tangerang pekerja anak bisa bekerja sampai 14 jam per hari. Melihat jadwal kerja yang begitu padat tentu saja tidak memungkingkan seorang pekerja/buruh anak untuk mendapatkan pendidikan, kurangnya waktu istirahat akan menambah gangguan dan perkembangannya (Rusmil,1998)

Pekerja/buruh anak mendapatkan upah yang tidak memadai, sehingga mereka harus melakukan penghematan melalui berbagai cara, misalnya pekerja/buruh anak mencari rumah kontrakan secara bersama-sama di rumah kumuh yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan, sumber air bersih yang kurang sehingga selanjutnya yang timbul adalah kejadian penyakit infeksi yang tinggi. Di samping itu kecenderungan memilih makanan asal murah dan mengenyangkan dengan tidak memperhatikan kandungan nilai gizi akan semakin menghambat petumbuhan dan perkembangannya.

Selain kerugian yang bersifat jangka panjang, pekerja/buruh anak juga sangat rawan terhadap tindak kekerasan, eksploitasi tenaga dan bahkan stres. Pekerja/buruh anak rawan mengalami tindakan-tindakan tersebut, sebab umumnya pekerjaan yang mereka geluti tidak mempunyai segmentasi pekerjaan atas dasar usia. Mereka bekerja dibidang pekerjaan yang layaknya dilakukan pekerja dewasa. Ini akan membuat mereka tua sebelum waktunya, baik secara fisik maupun psikis.

Di sektor informal, keadaannya bertambah buruk. Sebagaimana laporan media massa dan peneliti, anak-anak yang bekerja di jalanan tidak hanya bekerja keras untuk memperoleh hasil, tetapi juga mereka biasa diperas oleh preman-preman. Tindakan tak senonoh pun mereka alami, baik pekerja anak laki-laki maupun perempuan. Kekerasan di jalanan yang dialami oleh pekerja anak atau disaksikannya sangat merugikan karena akan membekas dalam jiwa dan kepribadian anak. Hal ini pada gilirannya akan menciptakan kultur kekerasan dalam peribadi anak tersebut. Anak akan terbiasa dengan dunia pencurian, pemerasan, penganiayaan dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya, sehingga bisa jadi mereka pun terdorong untuk menjadi pelakunya.

Uraian di atas menunjukkan bahwa, pekerja/buruh anak adalah bagian dari anak bangsa, yang di pundak mereka bangsa ini ditentukan. Dan bila nasib pekerja/buruh anak menyedihkan, maka itu adalah “Potret sebagian masa depan Indonesia.” ***

sumber:
Oleh M. GHUFRAN H. KORDI K.

0 komentar:

Posting Komentar